“Anak Kami Kritis, tapi Hanya Dibawa Berputar-putar di Selasar RSUDAM Lampung”

91

HAEADLINELAMPUNG, LAMPUNG SELATAN – Muhammad Rezky Mediansori alias Kiki (21), warga Dusun Pasar Senin Baru, Desa Palas Pasemah, Kecamatan Palas, Lampung Selatan mengakhiri hidupnya secara mengenaskan.

Pasien BPJS itu didiagnosa menderita penyakit demam berdarah dengue (DBD), diare dan Hepatitis. Kiki diduga tidak diberikan tindakan serta pelayanan maksimal oleh pihak Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek (RSUAM) hingga meninggal dunia di selasar, Senin (10/2/2020), sekitar pukul 16.30 WIB.

Jenazah Kiki telah dimakamkan pihak keluarganya di TPU Desa Palas Pasemah, Selasa (11/2/2010) siang.

Lilik Ansori, ayah Kiki saat ditemui di kediamannya menuturkan, sebelumnya ia bersama istri dan keluarganya membawa Kiki ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bob Bazar Kalianda, Sabtu (8/2/2020), sekitar pukul 21.00 WIB.

Setibanya di Rumah Sakt tersebut, Kiki langsung ditangani tim medis dan diberikan cairan infus. Setengah jam dirawat tidak ada perubahan.

“Kondisi tubuh Kiki panas terus dan malam itu diambil sampel darahnya. Dari hasil uji lab tes darah, Kiki terindikasi penyakit DBD,” ujar Ansori, didampingi sang istri, Maliyana, kepada Headlinelampung, Rabu (12/2/2020).

“Malam itu, anak saya harus segera dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek (RSUDAM). Tapi kami diminta menunggu setelah ada konfirmasi dari pihak RSUDAM. Tapi hingga jelang subuh ditunggu tidak ada kabar,” tambahnya.

Pada Minggu (9/2/2020) sekira pukul 06.00 WIB, mereka diajakpetugas RSUD Bob Bazar ke menuju RSUDAM di Bandar Lampung.

“Setibanya di RSUDAM, kami daftar menggunakan BPJS Mandiri kelas 3. Saat itu Kiki ditaruh di Ruang IGD dan diberi oksigen saja. Sementara infus yang terpasang bawaan dari RSUD Bob Bazar,” jelas Ansori.

Setelah itu, petugas dari RSUD Bob Bazar, Kalianda pergi meninggalkan mereka di RSUDAM.

“Saya mengira, dirujuknya anak saya ini sudah ada konfirmasi ke pihak RSUDAM. Namun ternyata belum,” ungkap Ansori.

Dia lalu menanyakan ke petugas RSUDAM mengenai anaknya yang belum juga dilakukan tindakan. Hanya dibiarkan begitu saja di Ruang IGD.

“Padahal kondisinya kritis. Lalu petugas mengatakan sedang dikonsultasikan dengan dokter yang akan menanganinya,” kata Ansori.

Namun, ditunggu hingga beberapa jam, belum juga ada tindakan. Lalu dia kembali menanyakan ke petugas IGD RSUDAM dan petugas itu mengatakan kalau anaknya akan ditangani dokter Riki dan akan datang sekitar pukul 17.00 WIB.

“Saat itu saya dan istri masih tetap sabar menunggu. Padahal saya melihat kondisi Kiki sudah kritis, bahkan sampai kejang-kejang. Semestinya kalau sudah tahu penyakitnya seperti itu (DBD), penanganan rumah sakit harusnya cepat dan sigaplah. Jangan dibiarkan begitu saja,” tuturnya.

BACA JUGA:  Pemkab Lamsel Terima Bantuan Kasur dan Pembersih Lantai

Sore harinya, dokter Riki datang mengecek kondisi anaknya. Setelah dicek, dokter Riki mengatakan trombositnya turun dan kami diminta untuk segera menebus obatnya dulu, tapi di apotik luar.

“Selain itu, Kiki harus segera ditransfusi darah sebanyak 10 kantong. Saat itu juga kami langsung usahakan darahnya, hingga dapat 10 kantong malam itu juga. Tapi darahnya itu tidak bisa langsung digunakan, katanya harus menunggu tengah malam baru bisa ditranfusi,” ujar Ansori.

Sekitar pukul 22.00 WIB, Kiki dipindahkan ke ruangan. Tapi itupun ruangannya bukannya untuk penyakit dalam. Melainkan di ruangan penyakit syaraf. Malam itu, kondisi Kiki masih kritis dan kejang-kejang sambil menjerit kesakitan.

“Pada saat di taruh di ruangan itu baru ditransfusi darahnya. Anehnya, kantong darah yang hendak dipasang, alirannya tidak lancar. Yang memasang transfusi darah bukan perawat, tapi sedang magang,” ungkapnya.

Kiki yang kerap menjerit kesakitan rupanya dianggap mengganggu pasien lain. Keluarga pasien tersebut minta agar Kiki dipindahkan ke ruangan lain.

Lalu Kiki dipindahkan petugas ke ruangan lain yang kondisinya berantakan seperti gudang. Ruangan itu pun yang membersihkan Ansori, istri, serta saudaranya.

“Ya, kami orang tak punya. Pakai BPJS hanya kelas tuga. Jadi penanganannya asal-asalan. Padahal saya ikut BPJS Mandiri, bukan yang gratis. Tapi kenyataannya begitu,” tutur Ansori lirih.

Kiki yang masih terus kejang-kejang dan belum juga dilakukan tindakan, Ansori lalu bertanya kepada petugas RSUDAM. Petugas mengatakan kalau dokter yang menangani masih dalam perjalanan ke Rumah Sakit.

“Dokter itu datang sekitar pukul 14.00 WIB, kondisi anak kami sudah semakin kritis. Saya dipanggil dokter Riki. Dia memberitahukan jika diagnosa penyakit anak saya DBD, diare dan Hepatitis. Saya katakan, kalau penyakit anak saya ini berat, kenapa tidak segera ditangani dari kemarin. Kenapa ada pembiaran seperti ini,” tukas Ansori.

Dokter Riki lalu menyarankan agar Kiki segera diberkani suntikan penenang, supaya tidak kejang-kejang.

“Kami menurut. Tapi hingga Senin pagi tidak juga diberikan suntikan penenang,” jelasnya.

Ansori lalu kembali menemui dokter tersebut dan dokter itu mengatakan jika akan sekalian diberi obat tambahan.

“Ternyata itu semua tidak ada. Sama sekali tidak dilakukan tindakan yang semestinya oleh pihak RSUDAM. Anak saya sepertinya memang sengaja dibiarkan,” ujarnya.

BACA JUGA:  Pendidikan Karakter TK Ar-Rasyid Melalui Sholat Dhuha Berjamaah

Senin sore seusai Ansori sholat Ashar, Kiki dipindahkan lagi ke ruangan lain oleh petugas RSUDAM.

“Saya tanya, mau dipindah kemana lagi. Kenapa tidak kemarin saat tiba di RSUDAM,” tukasnya.

Tapi petugas tersebut tetap memaksa membawa Kiki. Itu pun tidak jelas mau dipindah ke ruangan mana. Padahal saat itu Kiki kejang makin parah di atas bangsal. Tak tahan melihat kondisi itu, Ansori memaksa petugas tersebut untuk mengehntikan.

“Ternyata anak saya hanya dibawa berputar-putar saja dari lorong ke lorong selasar RSUDAM. Setiap kali mau masuk ruangan, semuanya penuh. Artinya ruangan yang untuk anak saya ini sebenarnya belum siap dan sepertinya hanya akal-akalan saja dari pihak RSUdAM,” terang Ansori.

Ironisnya, saat berada di selasar RSUDAM itu Kiki meninggal dunia, sekitar pukul 16.30 WIB.

“Dua petugas RSUDAM yang bawa anak kami hendak pergi, tapi ditahan oleh keponakan saya, Agus Saputra alias Ujang. Kedua petugas itu ditarik dan harus bertanggungjawab,” ujar Ansori.

Merasa sedih anaknya meninggal dan kesal karena perlakuan petugas RSUDAM, Ansori lalu membanting benda-benda didekatnya.

“Anak saya meninggal di emperan selasar, bukan di ruangan yang semestinya,” tutur Ansori.

Dia heran, penanganan rumah sakit nomor satu di Lampung tapi begitu. Padahal mereka ikut BPJS Mandiri meski kelas tiga.

“Mana yang kata Presiden Jokowi jika BPJS itu untuk rakyat tidak mampu. Kenyataannya tidak ada,” sergah Ansori.

Diakuinya, meski sebelumnya Ansori pernah nunggak pembayaran BPJS, tapi semuanya sudah dibayarkan lunas berikut dengan dendanya.

Sedangkan dia berobat menggunakan BPJS baru kali ini. Katanya BPJS mau membantu masyarakat lemah, tapi ternyata begitu. Seolah-olah kelas 3 BPJS tidak berharga.

“Ya, ini adalah pembiaran, karena saya lihat sendiri di RSUDAM itu ketika ada pasien BPJS yang kelas 1 datang, langsung cepat ditangani dan dapat ruangan. Sementara yang BPJS kelas 3 seperti kami, boro-boro ditangani. Yang ada, ruangan saja tidak jelas, ditambah dibiarkan begitu saja,” ungkapnya.

Dengan kepergian anak keduanya tersebut, Ansori dan keluarganya ikhlas, karena mungkin ini memang sudah jalan hidupnya.

“Kami semua sudah ikhlas dengan pulangya Kiki. Tapi tolong perhatian pemerintah, BPJS dan Rumah Sakit jangan sampai melakukan hal seperti yang dialami keluarga kami. Jangan sampai ada korban lagi,” harap Ansori. (heri)