PEREKONOMIAN Negara Indonesia, bahkan dunia saat ini sedang memburuk akibat dampak dari Covid-19. Sejak bulan Maret 2020 hingga sekarang, pemerintah sudah berupaya untuk menanggulangi Covid-19 ini dari mulai memberlakukan PSBB, PPKM dan memberikan
Vaksin gratis kepada masyarakat. Telah banyak perusahaan besar, memutuskan untuk merumahkan sebagaian karyawannya bahkan ada yang tutup. Di Indonesia salah satu penopang ekonomi bangsa yang paling merasakan dampak dari pandemik yaitu di sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Banyak pelaku UMKM harus melakukan inovasi dan strategi agar usahanya tidak tutup.
Hal ini juga dirasakan para
peternak bebek petelur, dampak yang dirasakan disaat pandemi Covid-19 datang yaitu penjualan telur yang makin menurun. Biasanya, telur-telur ini di pesan setiap harinya oleh pelaku usaha panganan yang menggunakan bahan dasar
telur seperti martabak serta ke depot-depot jamu.
Beternak bebek petelur sangat berbeda dari ternak bebek pedaging karena hasil keuntungan yang didapat dengan cara memanen telur dan menjual telur bebek bukan dagingnya sehingga tingkat kesulitan dalam perawatan ternak bebek petelur menjadi lebih tinggi dan jangka waktu yang lebih lama di banding ternak bebek pedaging yang dapat dipanen dalam waktu 40 hari.
Informasi yang saya dapatkan, dari peternak bebek petelur yang menceritakan pengalamannya yaitu sekitar akhir tahun 2018 beliau pertama membeli 400 ekor DOD bebek petelur jenis Majosari Alabio untuk di besarkan secara tradisional dengan memanfaatkan halaman rumah
untuk kandang seluas 15 x 20 m, dan untuk pakannya meracik sendiri dengan menggunakan bahan Roti sisa, Tepung jagung yang telah dicampur konsentrat, Dedak dan Ampas Tahu. Karena, kalau membeli pakan pabrik harganya sekitar Rp9.000/kg, sedangkan dengan pakan racikannya hanya butuh biaya Rp3.500/kgnya.
Setelah berjalan, ternyata dari 400 DOD
tersebut, hanya 140 ekor yang betina dan 260 ekornya jantan. Karena, hanya ingin memelihara bebek petelur saja maka DOD yang pejantan itu di jual. Dari 140 ekor bebek petelur tersebut, diperoleh rata-rata sekitar 80 sampai 100 butir telur bebek perharinya. Saat itu, telur di jual di depot-depot jamu, penjual martabak, dan perorangan.
Seiring berjalannya waktu, permintaan telur bebek meningkat. Untuk memenuhi permintaan konsumen akan telur maka membeli lagi DOD bebek petelur dengan jenis yang sama.
Sehingga total bebek petelurnya saat itu berjumlah 400 ekor. Dengan jumlah bebek petelur tersebut setiap harinya dapat
memperoleh sekitar 250 sampai 300 butir telur. Bebek jenis Mulyosari Alabio secara produktif bertelur sampai usia 3 tahun. Dan bebek yang sudah kurang produksinya karena sudah tua di jual di pasar.
Ketika pandemi Covid-19 datang, maka kesulitan saat itu omset penjualan telur menurun. Dengan terpaksa karena tidak ada penjualan akhirnya tenaga kerja yang membantu dalam mengurus bebek diberhentikan 2 orang dari total pekerja saat itu berjumlah 4 orang.
Kesulitan lainnya, adalah mendapatkan DOD karena pemberlakuan PSBB karena pandemi Covid-19. Sedangkan saat itu bebek sudah harus dipersiapkan untuk
mengganti indukan yang tidak produktif. Telur banyak yang tidak terjual saat itu, karena usaha para pelanggan omsetnya turun drastic saat Pandemi Covid-19.
Dengan keadaan tersebut, akhirnya diputuskan untuk menetaskan telur yang
tidak terjual. Timbulnya ide untuk menetaskan sendiri telur, karena saat itu ingin membeli DOD untuk persiapan mengganti indukan yang sudah tidak produktif dan bersamaan karena pandemi penjualan telur juga turun drastic.
Kebetulan ada alat tetas telur milik kawan, yang sudah lama tidak terpakai dan akhirnya alat tetas tersebut
dipinjam dan mas Agus mencoba untuk menetaskan telur bebek dengan menggunakan alat tetas sederhana yang dipinjam dari kawannya itu.
Dimulai dengan kapasitas telur 300 butir ternyata yang menetas dengan mesin tersebut hanya 100 telur. Dan dari 100 DOD hanya 30 ekor yang betina, dan 70 ekornya pejantan. Dari pengalaman menetaskan telur tersebut, belum bisa dipastikan persentase betina dan pejantannya. Rata-rata DOD yang betina dari setiap menetaskan hanya 30 persen.
Dari hasil mesin tetas telur tersebut, DOD yang di dapat dibesarkan sendiri tidak untuk di jual, dengan tujuan untuk menggati bebek-bebek yang tidak produktif.
Akhirnya, karena banyak bebek pejantan, mas Agus selain menjual telur akhirnya menjual DOD bebek jantan untuk dibesarkan dan dijual dagingnya.
Selama masa Pandemi ini sekitar 10 hari sekali telur-telur dari bebek yang diternakan oleh mas Agus dimasukan ke mesin penetasan. Butuh waktu sekitar 26 sampai dengan 28 hari untuk menetaskan telur tersebut.
Saat ini, dari penetasan tersebut ternyata banyak peternak bebek yang membeli DOD sehingga secara bertahap penetasan telur terus di lakukan untuk membantu para peternak mendapatkan DOD pejantan untuk dibesarkan peternak, sedangkan DOD bebek betina tidak
dijual.
DOD hasil penetasan di tempat mas Agus, dijual dengan harga yang lebih murah dibanding jika membeli DOD dari Pulau Jawa dengan jenis yang sama yaitu jenis Mojosari Alabio dan hal itu sangat membantu para peternak bebek lainnya.
Sebagai peternak bebek, baik itu bebek petelur atau bebek pedaging akan sulit bertahan dengan usahanya karena pasti akan merugi puluhan juta akibat tidak dapat dipasarkan. Para peternak bebek, tidak mungkin akan menahan ternakanya karena akan menambah biaya produksi, salah satunya ketersediaan pakan.
Kebutuhan pakan, akan terus meningkat seiring dengan lamanya bebek di kandang. Sudah banyak peternak bebek, yang menutup usahanya, perlunya peran pemerintah agar perekonomian peternak dapat kembali bangkit. Untuk itu,
perlu bantuan dana usaha atau kredit lunak dari pemerintah untuk usaha peternakan.
Strategi yang dilakukan oleh peternak ini, dapat dijadikan terobosan karena bisa berinovasi memanfaatkan alat yang sederhana untuk bertahan dari kondisi pandemi Covid-19 yang melanda bangsa Indonesia bahkan dunia.
Peternak yang satu ini, berbeda dari peternak lain yang ada di lingkungannya karena selain mencoba bertahan agar usahanya tidak gulung tikar, dia juga berani untuk mencoba dan terus belajar sehingga hasilnya dapat juga membantu peternak lainnya.
Pemerintah perlu hadir, agar dapat membantu peternak dalam bidang
teknologi peternakan terutama agar telur yang ditetaskan oleh petani dapat menetas dengan persentase betina lebih banyak dari pejantan, sehingga peternak didaerah bisa memproduksi DOD di rumahan dengan kualitas yang sama dengan DOD yang berasal dari pabrik atau
peternak besar yang umumnya berada di pulau Jawa. (**)