LAMPUNG UTARA – Praktisi hukum Universitas Muhammadiyah Kotabumi (UMKO) Kabupaten Lampung Utara, Suwardi, menilai dugaan korupsi oknum PNS berinisial ‘MP’ bisa masuk kategori perbuatan melawan hukum atau pungutan liar (Pungli).
“Masuk kategori pungutan liar pasal 368 KUHP, UU Pemberantasan Tipikor pasal 12 huruf (e), (f), (g),” kata Suwardi kepada Headline Lampung saat dimintai pandangan hukumnya terkait pemberitaan,”Oknum PNS Diduga Jadikan Dana Desa Ajang Korupsi Milyaran Rupiah,” melalui pesan WhatsApp-nya, Senin (26/05/2025).
Suwardi menjelaskan yang dimaksud pasal 368 KUHP itu yakni Pasal tindak pidana pemerasan, di mana seseorang memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menyerahkan sesuatu, membayar hutang, atau menghapus piutang.
“Pungli, dalam konteks ini, dianggap sebagai bentuk pemerasan,” ujarnya.
Terkait dengan hal tersebut UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001):
mengatur tindak pidana korupsi secara lebih luas. Pungli dapat dikategorikan sebagai korupsi terkait pemerasan, khususnya dalam Pasal 12 huruf (e), (f), dan (g).
“Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
KUHP baru ini mengatur tindak pidana korupsi pada pasal 603-606, dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau minimal 2 tahun dan maksimal 20 tahun,” jelas dia.
Pungli lanjut Suwardi, dianggap sebagai bentuk korupsi karena melibatkan tindakan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara ilegal, yang seringkali dilakukan oleh aparat negara atau petugas pelayanan publik.Tindakan ini dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga termasuk dalam kategori korupsi.
“Artinya suatu kegiatan yang dilakukan tidak memiliki regulasi bisa dikategorikan suatu perbuatan melawan hukum, alias pungli,” terangnya.
Sebaliknya kata Suwardi, meskipun yang bersangkutan berprofesi sebagai PNS tidak jadi masalah jika jual jasanya.
“Boleh aja kalau memang dia mampu buat itu.
Memang ada dan sesuai dengan ketentuan tidak ada masalah,” paparnya.
Tapi kalau di ketentuannya tidak ada, tidak boleh menggunakan dana desa untuk biaya dokumen desa seperti APBDes, RKPDes, RPJMDes, dan SPJ, maka tidak bisa.
“Yang jadi masalah sumber daya manusia di desanya itu, kan selalu ada pelatihan pasti untuk aparatnya untuk buat dokumen, buat laporan dan lainnya. Jadi percuma aja ada bimtek kalau masih mau ngupah orang lain buatnya,” tuturnya.
“Ya, jangan-jangan ada unsur pemaksaan juga. Kalau ga buat sama dia nanti laporannya di cari-cari kesalahannya. Itu gak bener,” tukasnya.
Yang jelas lanjut Suwardi Inspektorat tidak bisa tinggal diam, harus melakukan pengumpulan data atau keterangan kebenaran dari masalah itu.
“Kalau ditemukan ada pemaksaan, terus ada pengkondisian supaya desa memakai jasa mereka, kalau ga pihak desa akan di persulit. Perlu diberikan sanksi oknum PNS itu,” pungkasnya. (HL-DRA)