Bandar Lampung — Gubernur Lampung Arinal Djunaidi mengikuti Rapat Koordinasi Nasional Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN KSB) 2019-2024 secara virtual dari Mahan Agung, Kamis (28/03/2024).
Rakor dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto. Dalam pengantarnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Nasional Pelaksanaan Inpres No. 6 Tahun 2019 menyampaikan bahwa kelapa sawit merupakan komoditas strategis.
“Ini menjadi salah satu andalan export dengan ekspor senilai 28,45 miliar atau mendekati 12% dari ekspor non migas dan tenaga kerja yang bekerja di sektor secara langsung dan tidak langsung sebesar 16,2 juta dan kelapa sawit juga merupakan penggerak perekonomian di wilayah penghasil kelapa sawit dan juga memberikan kemajuan di pedesaan maupun mengurangi tingkat kemiskinan,” ucapnya.
Airlangga Hartarto melanjutkan bahwa Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia.
“Produksinya 56 juta ton ekspornya 26,33 juta ton dan mengisi 54% pasar dunia dan tujuan ekspor lebih dari 125 negara terutama untuk pangan, energi dan hilirisasi yang lain dan sebagai sumber daya devisa tentunya ini perlu kita jaga terus keberlanjutannya,” lanjutnya.
Airlangga juga menjelaskan bahwa Pemerintah terus mengembangkan industri hilir kelapa sawit agar tidak hanya berkonsentrasi kepada ekspor bahan baku tetapi juga sampai produk hilir atau produk akhir yang bernilai tambah tinggi.
Pemerintah terus mendorong program Mandatori Biodiesel yang saat ini sudah diujicobakan untuk B40 dan realisasi biodiesel domestik di tahun lalu sebesar 12,2 juta Kilo liter dan tentu ini sangat mempengaruhi untuk menyerap Crude Palm Oil (CPO) di dalam negeri.
Selain itu, Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Peraturan Presiden tentang ISPO bertujuan untuk mengakselerasi sertifikasi berkelanjutan untuk usaha skala besar serta perkebunan sawit. Perpres telah direvisi dan ISPO itu juga mencakup ketertelusuran dari rantai pasok minyak sawit atau traceability dengan menguatkan konsep hilirisasi.
“Hal ini penting karena ini menjadi respon terhadap kebijakan EU Deforestation Regulation (EUDR). Kebijakan PSR tentunya diharapkan bisa dipercepat, rata-rata kita baru mencapai sekitar 50.000 per hektar per tahun dan ini kurang dari 30% dari target yang waktu itu dicanangkan bapak presiden 180.000 hektar per tahun,” lanjutnya.
Airlangga juga menyampaikan bahwa Inpres tentang RAN KSB ini adalah instrumen pemerintah dan tentu pelaksanaannya tidak hanya tanggung jawab Kementerian/Lembaga tetapi juga Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
“Rencana aksi daerah ini menjadi penting. Tentunya saya mendorong bahwa kerjasama pak gubernur bupati agar rencana daerah ini segera tersusun. Untuk daerah yang belum memiliki rencana aksi daerah dihimbau untuk dipercepat penyusunannya saya juga ingin sampaikan bahwa perbaikan tata kelola ini terus akan dilanjutkan dan dari kami akan mengajukan izin prakarsa agar RAN KSB ini dapat di payungi dalam peraturan presiden,” pungkasnya.
Adapun Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis selaku Ketua Tim Pelaksanaan Nasional RAN KSB, Dida Gardera dalam laporannya menyampaikan bahwa rapat ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan komitmen dan dukungan para pimpinan tertinggi Kementerian, Lembaga, Gubernur Kepala Daerah Provinsi serta Bupati Walikota Kepala Daerah Kabupaten Kota untuk pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.
Rencana Aksi Nasional ini merupakan peta jalan perbaikan tata kelola kelapa sawit nasional menuju pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.
“Pelaksanaan RAN KSB yang terdiri dari 28 program dan dimandatkan kepada 14 Kementerian/lembaga, 26 pemerintah Provinsi dan 217 kabupaten kota sentra penghasil kelapa sawit,” ujarnya.
Dida Gardera juga melaporkan beberapa progres pelaksanaan ruang KSB sampai dengan awal tahun 2024.
“Kami sampaikan program Peremajaan Sawit Rakyat sampai dengan awal tahun 2024 telah tercapai lebih dari 327.000 hektar dan saat ini sudah ada 883 perusahaan dan 52 koperasi atau kelompok perkebunan yang telah memiliki ISPO,” jelasnya.
Selain itu, dalam rangka diplomasi promosi dan advokasi untuk meningkatkan keterimaan ISPO diantaranya sudah melakukan beberapa kebijakan salah satunya dalam mengantisipasi EUDR.
“Sampai dengan saat ini telah ada 9 provinsi dan 19 kabupaten yang telah menerbitkan Rencana Aksi Daerah Kelapa Sawit Berkelanjutan atau RAD KSB. Sementara, 17 provinsi dan 24 Kabupaten lainnya masih dalam proses legislasi penerbitan RAN KSB. Salah satu tujuan dari rakornas ini juga untuk melakukan percepatan karena RAN KSB ini menjadi salah satu syarat dalam penerimaan dana bagi hasil yang berasal dari sawit,” pungkasnya. (*/kmf)